Kategori: Opini

Mencari ‘Kemerdekaan’ di Jalan

Editorial untuk posmodmagz.com Jalanan adalah cerminan sikap dan kepribadian bangsa. Segala jenis manusia ada di sana. Sebagian individu menilai jalan raya hanya sebagai perantara, sebagian lain berusaha menggantungkan nasib hidupnya … Lanjutkan membaca Mencari ‘Kemerdekaan’ di Jalan

Pragmatisme & Demokrat Yang Sekarat

Karma, ajaran yang mengajarkan bahwa apa yang kamu lakukan, maka itulah yang akan kamu dapatkan. Terminologi ini memberi pesan bahwa prinsip sebab – akibat selalu ada di kehidupan kita. Tidak terkecuali, hal ini juga berlaku dalam dunia politik di Indonesia. Menurut LSI, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat atau yang kala itu juga disebut sebagai partai raksasa yang berkuasa, memiliki elektabilitas sekitar 20,9%. Angka yang cukup tinggi ini, menjadi kontras jika melihat elektabilitas yang dikeluarkan oleh LSI pada januari, kemarin. Pada hasil LSI tersebut didapatkan bahwa suara Demokrat hanya mencapai 4,7%. Alasan logis jika perolehan suara yang didapatkan demokrat semakin menurun.

Berbagai kasus korupsi yang menimpa anggotanya memberi tamparan jelas bagi dunia politik itu sendiri, terutama bagi Demokrat sendiri. Melalui kicauan Nazaruddin, yang merupakan mantan bendahara umum partai biru itu, satu per satu model iklan “Katakan Tidak, Pada Korupsi” terseret ke jurang korupsi itu sendiri. Miris. Mulai dari Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, sampai mantan Ketua Umum Partai Demokrat yaitu Anas Urbaningrum.

Partai yang seolah bersih dari korupsi, sekarang malah kelihatan belangnya. Dalai Lama pernah mengatakan bahwa nafsu terhadap duniawi dapat membutakan semuanya. Orang-orang yang terjerat korupsi seperti mereka, tentunya memiliki nafsu yang tinggi untuk meraup uang baik yang digunakan untuk pribadi atau membantu uang kas di Partainya sendiri. Hal ini yang sering diwacanakan sebagai sistem Pragmatisme Korporasi di Indonesia. Pragmatisme tersebut yang sering dijadikan oleh mereka yang memiliki niat busuk untuk berbuat yang tidak sepatutnya.

Pragmatisme Korporasi

Pertama kali, ide pemikiran pragmatisme merupakan karya pemikiran orisinil amerika terhadap perkembangan ilmu filsafat. Lahirnya pemikiran seperti ini bertujuan untuk menghubungkan dua dunia, yaitu ‘dunia spekulatif’ dengan ‘dunia praksis’. Salah satu tokoh besar yang mempelopori pemikiran ini adalah John Dewey. Seorang filsuf Amerika, kritikus dan pemikir dalam bidang pendidikan yang lahir pada tahun 1859 di Burlington. Pada dasarnya pemikiran pragmatisme ini tidak mementingkan sesuatu yang terlalu spekulatif dan kapasistas secara rasionalistik seperti yang disampaikan oleh Descrates, Kant melalui idealisme kritis, Hegel melalui idealisme absolutnya, serta pemikir rasionalistik yang lainnya.

Yang menjadi poin utamanya adalah bagi kaum pragmatisme tidak penting menerima teori ini atau itu, yang melainkan apakah teori dapat berfungsi dalam suatu tindakan atau tidak. Dalam artian, bahwa landasan seperti ini bersifat praktis semata (empirisme). Bagi kaum ini, rasio dan spekulatif apapun tidak diperhitungkan. Pada akhirnya segala resiko dan tindakan kehilangan nilai khas dari manusia itu sendiri. Baik dari segi nurani maupu akhlak yang diperlihara seorang manusia untuk hidup dalam suatu lingkup sosial.

Cara-cara atau pemikiran seperti ini yang telah melahirkan berbagai kreasi seperti IPTEK yang akhirnya memudahkan semua orang untuk membantu pekerjaannya sebagai manusia. Ini merupakan citra positif dari pragmatisme itu sendiri. Di samping citra positif, tentu saja pragmatisme melahirkan citra negatif melalui pemikirian praktisnya , yaitu adalah Pragmatisme Korporasi.

Pragmatisme Korporasi memiliki pengertian bahwa pada bagian level atas melakukan sesuatu tindakan yang praktis demi mencapai tujuannya. Yang perlu digarisbawahi adalah dalam mencapai tujuan tersebut, segala tindakan atau cara diperbolehkan, meskipun pada akhirnya akan merugikan orang banyak. Hal ini tentu yang dapat merusak tatanan masyarakat sosial. Masyarakat yang seharusnya dijadikan landasan dalam mengambil suatu kebijakan dalam suatu sistem korporat, malah berbalik arah untuk dijadikan sebagai ladang untuk diperas dan dikerutkan.

Hal ini yang terjadi dalam sistem di Indonesia. Mari kita lihat kasus partai demokrat. Memunculkan iklan-iklan politik dengan jargon ‘Katakan Tidak Pada Korupsi’, yang berpretensi bahwa partainya adalah partai yang bersih pada tahun 2009. Akhir-akhir ini harus gulung tikar akibat jatuhnya elektabilitas partai biru tersebut sampai ke titik nadir. Angka perolehan suara yang hanya mencapai 4,7%, membuat partai tersebut menjadi Sekarat. Dalam artian, bahwa partai ini butuh pertolongan yang lebih dan butuh bantuan oksigen agar nyawa dari partai tersebut masih bisa dapat diselamatkan. Tapi, siapa yang mau menolong?

Apa yang kau perbuat, itulah yang akan kamu petik. Ketika anggota partai korupsi, maka suara partai akan menjadi taruhannya. Publik menilai seringnya kasus korupsi yang menjerat partai biru ini membuat publik tidak lagi berpaling kepada mereka. Maka, karma itu pun harus diterima meskipun pahit rasanya. Pragmatisme dan nafsu dari masing-masing kader partai tersebut yang membawa semua resiko ini. Siapa yang mau menolong mereka?

Jikalau, demokrat berteriak,”Tolong, Tolonggg, Ampuni saya, Maafin saya, anggota saya tidak bermaksud korupsi. Bantu saya untuk menaikkan suara partai saya, agar partai ini bisa bertahan.” apakah publik akan membantunya? (Maaf saja, melalui kebebasan berpendapat, pribadi penulis tidak akan berpaling kepada partai ini).

Apakah konvensi partai demokrat dapat menolong partai biru ini? Jangan terlalu berharap. Pemberitaan mengenai konvensi hanya membuat heboh politik Indonesia. Konvensi demokrat ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Tidak ada yang spesial dari para pesertanya. Melalui forum media warga ini, penulis juga sudah pernah menuliskonvensi demokrat yang hanya akan menimbulkan suatu kehebohan saja. Apabila jokowi maju sebagai Capres, apakah para peserta konvensi dapat mengalahkan Jokowi dalam perolehan suara? Silahkan dicoba.

**

Partai yang korup seharusnya mendapat ganjaran yang keras, yaitu Pembubaran. Kekecewaan publik terhadap sistem pragamtisme partai politik sudah melampaui batas. Sulit bagi masyarakat sekarang untuk dengan mudah mempercayai dengan janji-janji politik yang diberikan.

Dari kejadian partai demokrat ini, seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagi partai-partai yang lain. Selama penegak hukum dan KPK masih bekerja dan berkomitmen tinggi untuk memberantas korupsi, maka masyarakat selalu berada di belakang. Jadi hal penting yang harus dijadikan landasan bagi partai-partai penguasa maupun yang belum berkuasa, adalah Jangan mempermainkan masyarakat. Buang sikap pragmatisme dalam berpolitik.

Jokowi dan Standar Kepemimpinan Sekarang

(Artikel ini dimuat dalam buku ‘Jokowi [Bukan] Untuk Presiden)

Jokowi, nama yang kurang atau tidak pernah terdengar ketika menjelang pemilu 2004 lalu. Nama ini juga terlalu asing pada saat itu, kecuali bagi warga Solo sendiri. Pada tahun 2004 silam, beliau baru menjabat sebagai walikota Solo. Dari seorang pengusaha kayu/mebel, beliau beralih ke ranah pemerintahan. Saat itu juga, semua mata mulai melirik dan mengawasi gerak-gerik pria kelahiran 21 juni 1961.

Ketika menjabat sebagai walikota, Pemuda solo ini mulai membangun kota kelahirannya dari mulai hal-hal kecil, seperti pasar-pasar yang kurang tertata rapi, serta mengenai pembangunan infrasturkturnya. Ibarat sosok jokowi memberikan air segar di tengah Oase. Pria yang terkenal dengan gaya blusukan ini, mulai membuat gebrakan-gebrakan baru dengan menampilkan sisi kreativitas dari kota solo tersebut. Beberapa ide-ide brilian yang dicetus adalah dengan membuat solo sebagai city branding,membangun solo melalui seni budayanya sehingga lahirlah acara tahunan ‘Solo Batik Karnival’. Ide-ide kreatif mulai diimplementasikan sehingga membuat nama Solo semakin terkenal baik secara domestik maupun mancanegara.

Dia memimpin solo seperti benar-benar mendengarkan aspirasi warganya sendiri. Dia melakukan pendekatan persuasif untuk mengajak warganya membangun kota solo bersama. Dia blusukan, gemar berkeliling kampung dan desa untuk menemui warganya. Tetapi, hal itu bukan merupakan suatu perbuatan yang sia-sia. Dalam buku biografi yang ditulis oleh Alberthine Endah yang berjudul “Jokowi, Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta’, Jokowi mengatakan,

“Tak ada sesuatu yang luar biasa yang saya buat, Saya hanya melakukan yang semestinya memang harus dilakukan.”

Kata yang cukup sederhana, dan tidak sulit untuk dicerna. Beliau menggambarkan bahwa pemimpin itu bukan sesuatu yang terlalu rumit, tetapi kalau seseorang memahami dengan benar bagaimana filosofis pemimpin, pasti akan melakukan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan. Tidak ada yang istimewa, yang ada hanyalah kesederhanaan yang dibalut dengan kecintaan dan kesungguhan untuk menjalani suatu amanat. Apalagi untuk rakyat.

Ketika Jakarta Memanggil

Sejak memimpin solo dengan segudang prestasi yang telah diukirnya, beliau kemudian dilirik banyak pihak terutama kalangan politisi yang sangat gencar untuk mengajaknya bergabung. Tidak dipungkiri lagi, beliau sangat populer ketika pria yang menyukai genre musik rock memimpin solo. Pernah suatu kali ketika berkunkunjung ke solo dan ini kejadian nyata yang dialami oleh penulis. Ketika itu penulis sedang melakukan perjalan backpacking dan berencana berkeliling di kota Solo awal 2012 lalu. Suatu ketika, pada saat makan siang di pinggiran jalan Slamat Riyadi kota solo, Penulis bertanya kepada salah satu pelanggan yang kebetulan makan siang juga di pinggiran jalan itu,

Penulis : “Pak, di Solo kan ada dua keraton yaitu keraton Kasunan dan keraton Mangkunegara. Nah, kalau bapak sendiri ikut dan milih yang mana? Kasunan atau Mangkunegara?”

Bapak  : “Wah dek, kalau bapak pilih Jokowi sajalah, Jokowi itu yang membangun kota Solo dari nol.”

Ini nyata. Dari percakapan ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat butuh pemimpin seperti ini yang benar-benar berangkat dari nol dan membangun semua menjadi sebuah realita yang sejuk. Masyarakat merindukan tindakan nyata. Bukan janji.

Pertengahan 2012, DKI menggelar pemilihan gurbernur. Pria solo ini kembali melebarkan sayapnya. Beliau mencoba peruntungan menjadi Calon Gurbernur kota Metropolitan itu. Beliau mencoba tantangan baru. Pemilihan Gurbernur (Pilgub) digelar, jokowi berpasangan dengan basuki (bupati belitung kala itu). Setelah mengalami pergulatan yang cukup sengit dalam pilgub DKI 2012 kemarin, Hasil pun dibacakan. Dan yang keluar sebagai pemenang untuk memegang kursi jabatan nomor 1 di DKI adalah Jokowi dan Basuki. Pergulatan terhadap dirinya pun dimulai. Beliau harus bisa menyelesaikan setidaknya persoalan yang ada di jakarta.

Langkah demi langkah dia tapaki dengan hati-hati, karena dia sadar satu hal, yaitu setelah menjadi Gurbernur, segala pergerakannya mulai diawasi oleh seluruh media dan beliau menyadari itu. Hidupnya sungguh berat. Tidak boleh ada celah dari dirinya, karena media langsung akan memberitakan dirinya setiap momen. Berbagai masalah jakarta mulai beliau petakan. Blusukan, yang merupakan gaya khas Jokowi ketika memimpin di Solo, akhirnya beliau terapkan di Kota Jakarta. Setiap harinya, beliau turun langsung menemui warga dan menyimak seluruh masalah dengan jelas ketika berada di lapangan. Di samping itu, wakilnya, Basuki mengawasi dan membenahi kinerja dari birokrasi yang kacau di pemerintahan kota Jakarta.

Hampir setengah tahun sudah beliau menduduki kursi Gurbernur sejak dilantik pada tanggal 15 Oktober 2012. Kontribusinya untuk membangun jakarta sedikit demi sedikit memang belum kelihatan secara jeli. Tetapi, ada angin baru dan udara segar dalam kepemimpinannya. Ide-ide kreatif dituangkannya. Semua ini hanya untuk membuat kota yang terkenal paling macet di Indonesia ini menjadi ‘Jakarta Baru’. Terlepas dari semua itu, sosok Jokowi di beberapa kalangan sangat kontroversial, dan yang selalu ditanyakan dari hari ke hari adalah, “Tindakanya tersebut murni dari hati atau hanya sekadar untuk pencitraan?” Semua orang sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan ini, karena semua pihak selalu mengawasi gerakan dia.

Kepemimpinan beliau di Jakarta, merupakan suatu panggilan dari masyarakat jakarta sendiri. Masyarakat Jakarta sendiri sudah pintar dalam memilih pemimpin dan mereka membutuhkan sosok seperti Jokowi yang benar-benar bisa menjalankan amanat yang ditugaskan sebagai orang nomor satu dalam kursi pemerintahan di Kota Jakarta. Jakarta yang memanggil beliau, karena dari hari ke hari Jakarta semakin kacau. Dan Jokowi pun sepertinya menjawab panggilan tersebut dengan berkata, “Jakarta, Semua ini perlu waktu, tidak secepat itu untuk merubahmu.”

Standar Kepemimpinan Sekarang

Semakin hari, kita semakin dekat dengan pemilu 2014. Calon-calon presiden mulai unjuk gigi dan sosok yang sudah memastikan dirinya dalam pencalonan semakin bergairah dalam memungut suara. kita telah memasuki tahun dimana kebohongan dan janji-janji akan diumbar kesana-kesini. Mari kita bersama mengawasi semua ini.

Seiring berjalannya waktu, Lembaga Survei yang ada di Indonesia pun semakin gencar melakukan simulasi untuk mencari siapa pemimpin sekarang yang mereka butuhkan untuk membangun negeri ini. Akhir-akhir ini, lembaga survei di Indonesia juga semakin gencar mengeluarkan hasil dari survei mereka sendiri. Untuk konteks pemimpin, Nama Jokowi hampir selalu menduduki peringkat nomor satu dalam hasil survei mereka. Meskipun jokowi tidak mencalonkan diri untuk maju sebagai Presiden di 2014. Tetapi masyarakat melihat bagaimana beliau bekerja dan memberikan udara baru. Masyarakat sudah bisa melihat sosok yang mana, yang baik untuk memimpin mereka ke depannya.

Hasil survei yang secara keseluruhan memilih jokowi sebagai sosok presiden yang tepat untuk saat ini, sebenarnya menghasilkan satu kesimpulan yaitu, Jokowi menjadi ukuran standar kepemimpinan sekarang ini. Jokowi juga dijadikan pembanding di antara pemimpin-pemimpin yang lain. Secara sadar atau tidak, ketika seseorang di kalangan bawah ditanya mengenai sosok pemimpin, secara otomatis, nama Jokowi akan keluar dari mulut mereka. Oleh sebab itu, tidak heran bila jokowi memenangkan pertarungan hasil survei dalam konteks Pemimpin untuk Indonesia di era sekarang ini. Jokowi telah memberikan jalan baru yang belum tentu semua pemimpin bisa membuka jalan tersebut.

Golput, Jangan Salahkan Masyarakat

Golongan putih atau biasa disebut dengan golput. Nama ini terdengar pertama kali pada tahun 1971, di mana sang pencetus gerakan moral ini adalah Arief Budiman (Aktivis demonstran era ‘66). Pada saat itu, kelompok ini memiliki pendapat bahwa dengan atau tanpa pemilu, kekuatan pasti akan tetap berada pada pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Oleh sebab itu, gerakan ini menyebarkan pamflet untuk mengajak masyarkat menjadi Golput. Tentu saja, aksi mereka ini mendapat ancaman dari pihak militer, karena dianggap mengganggu keamanan serta jalannya pemerintahan pada saat itu. Pihak militer dengan sepihak menyimpulkan bahwa organisasi ini dilarang dan mesti dibersihkan.

Tetapi, seiring dengan perkembangan rezim, golput semakin banyak meskipun tidak ada lagi organisasi resmi seperti yang pernah ditebarkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawan. Dari sekian banyak pemilihan yang digelar, tingkat partisipasi yang golput semakin meningkat. Hal ini terlihat dari Pemilu 1977 golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pemilu Legislatif 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Ada pun pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah golput 30% bila dikalikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sesuai dengan Perpu No. I/2009 sebesar 171.265.442 jiwa. Jadi, jumlah golput setara dengan 51.379.633 pemilih (Data diambil dari Blogdetik.com).

Sungguh ironis, memang resiko dalam berdemokrasi salah satunya adalah Golput. Lihat saja, pilwakot bandung yang minggu lalu baru selesai digelar di Kota kembang. Bayangkan, golput yang ada di Bandung sendiri berkisar sekitar 43%. Cukup besar, hampir dari setengah warga bandung tidak memilih. Tetapi ada apa sebenarnya dan mengapa hal ini bisa terjadi.

Kepercayaan Publik Memudar

Dalam hal ini,keterikatan golput tidak jauh dengan partisipasi dari masyarakat yang terdaftar dalam pemilih menjadi menurun. Fakta lapangan menggambarkannya. Tentu saja implikasi dari hal ini tidak terlepas dari kapasitas dari calon yang akan dipilih. Publik menilai bahwa sekarang ini kejujuran dan integritas dalam menjadi seorang wakil rakyat sudah tidak ada. Bahkan, tidak jarang juga ada yang menyebut hanya ‘Menjual Janji’.

Kebetulan penulis sendiri tinggal di Bandung. Kemudian, penulis bertanya kepada orangtua salah satu murid mengenai Pilwalkot di Bandung,”Bu, bagaimana dengan Pilwalkotnya kemarin?” Dengan sopan dan lembut orangtua tersebut berkata, “Saya gak milih, mister.” Sontak hal ini membuat penulis menjadi tambah penasaran mengapa si orangtua tersebut tidak memilih, “Kenapa bu gak pakai hak suaranya untuk memilih? kan untuk kebaikan kotanya juga.” Dengan lembut dan santun, orangtua tersebut berkata, “Percuma mister. Sama saja, mau pilih dari nomor urut 1 sampai 1000 juga gitu-gitu aja, hanya sekedar omongan di kampanye saja. Saya sudah kapok, tidak ada bedanya saya memilih dan tidak. Ujung-ujungnya uangnya hanya untuk mereka (Baca: Para wakil rakyat) bukan untuk kita lagi. Malahan kita sendiri yang bingung dengan peraturan dan kebijakan yang mereka buat. Jadi, saya serahkan sajalah pada Tuhan.” Lalu penulis menjawab, “Oh.. gitu ya bu.” Penulis tidak sempat melanjutkan perbincangan karena orangtua tersebut terlebih dahulu berpamitan.

Dari perbincangan tersebut, menurut hemat penulis, memang sekarang ini sedang terjadi kemerosotan kepercayaan warga sendiri terhadap wakil rakyatnya. Mereka menilai bahwa wakil rakya hanya memberikan janji palsu yang tidak pernah terealisasi secara baik. Publik menilai bahwa wakil rakyat hanya ingin mengambil keuntungan dari mereka. Dan, tentu saja publik merasa dibohongi. Apalagi ditambah dengan pemberitaan media yang semakin gencar akhir-akhir ini dalam memberitakan informasi terkait kasus korupsi yang menjerat para pejabat dan politikus.

Kehilangan kepercayaan tersebut merupakan citra demokrasi yang tergambarkan saat ini. Refleksi akibat perilaku demokrasi membawa dampak kepada terciptanya golput. Maraknya golput apalagi yang mencapai setengah dari penduduknya, bisa saja menandakan bahwa suatu pemilu bukan lagi berdasarkan demokrasi, tetapi suatu pemilu yang by design dengan menghadirkan partisipan dari pihak para calonnya sendiri. Persepsi seperti itu bisa saja bergulir jika dibiarkan menjadi melebar.

Bukan Salah Masyarakat

Kecenderungan untuk menjadi kelompok golongan putih (Golput) bisa saja sudah menjadi budaya lokal ketika suatu pemilihan digelar. Partisipasi masyarakat yang diharapkan untuk menggunakan suaranya, lama-kelamaan menjadi merosot. Masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya untuk hal ini. Tindakan masyarakat seharusnya dapat menjadi alarm buat para pemimpin sekarang. Seharusnya para pemimpin dan wakil rakyat sudah dapat bercermin, bahwa perilaku dari masyarakat ini berasal dari tindakan yang dilakukan oleh mereka sendiri.

Tindakan yang selalu ditampilkan kepada masyarakat, menjadikan momok yang mengerikan bagi masyarakat untuk memilih. Sebut saja kasus korupsi yang masif terjadi di kalangan kursi wakil rakyat. Tidak cukup oleh perbuatan itu, para wakil rakyat juga tersandung kasus narkoba seperti yang baru-baru ini terjadi di Banyuwangi. Seorang Anggota DPRD dengan inisial T.S tertangkap atas kepemilikan sabu-sabu seberat 0,33 gram. Dan, kasus bolos-nya para pejabat yang katanya wakil rakyat dalam sidang paripurna Pengesahan RUU Ormas baru-baru ini. Sebanyak 234 anggota DPR bolos. Tentu saja perilaku-perilaku seperti ini tidak diinginkan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, bisa jadi Mereka tidak memilih dan meresa dipermainkan oleh janji-janji dari para poli(Tikus) senayan itu.

Menjelang pemilu 2014 yang kurang dari setahun lagi, peristiwa golput ini sungguh tidak diharapkan apabila terjadi nanti. Sudah saatnya kewajiban dari para elite negeri ini membalikkan kelompok golput tersebut dalam partisipasi publik. Kembalikan kepercayaan tersebut seperti yang diharapkan merupakan jalan satu-satunya. Langkah-langkah transparan serta bijak yang harus disertai dengan niat dalam melakukan kebijakan untuk masyarakat sangat diperlukan. Dan, satu hal masyarakat butuh perkataan yang seimbang dengan perbuatan atau tindakan. Kalau golput ini masih tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara bukan berdasarkan jalan demokrasi tetapi dari oligarki partai.

Keprihatinan Dunia Jurnalisme Saat Ini

“Dunia yang penuh hitam dan putih. Profesi yang kurang dipandang sebagai kisah heroik. Tetapi, apakah jurnalis merupakan sekumpulan kawanan heroik yang dapat memberikan posisi teratas dalam  masalah mencari fakta berdasarkan realita lapangan?”

Dunia jurnalisme sekarang ini telah mengalami gejolak perkembangan yang masih abu-abu. Konteks abu-abu ini dikarenakan bahwa sebagian orang memandang profesi ini tidak dapat dipercaya dan sebagian lagi memilih untuk melihat keobyektifan dari berita yang dihasilkan. Seperti yang dirilis baru-baru ini oleh situs Reader’s Digest di Australia, bahwa di Australia profesi sebagai Jurnalis/Wartawan menempati posisi 6 terbawah dari 49 profesi yang dapat dipercayai. Begitu juga dengan Inggris, dalam situs journalism.co.uk, profesi jurnalis menempati urutan 3 besar teratas dalam profesi yang paling tidak bisa dipercaya. Senada dengan kedua negara tadi,Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS) juga begitu. Di AS, menurut lembaga survei yang cukup kredibel yaitu Gallup, menyimpulkan bahwa di AS profesi sebagai jurnalis/ wartawan sudah mulai tidak dipercaya oleh kalangan publik Amerika Serikat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, Bagaimana dengan profesi jurnalis/wartawan di Indonesia?

Belum ada satu survei di Indonesia yang coba untuk menelesik lebih dalam terhadap kondisi profesi jurnalis/wartawan di Indonesia sekarang ini. Jika dilakukan pun sepertinya hasilnya juga masih abu-abu. Jika dilihat dari media yang ada Indonesia, kebanyakan dari media tersebut dimiliki oleh para elite yang memiliki kepentingan politik di balik layar kaca tersebut. Dan satu senjata untuk terus memajukan independensi media yang ada sekarang ini adalah melawan. Melawan dan tetap menegakkan idealisme dalam penyajian berita yang berimbang.

Hal kronis yang patut dilihat dari pola idealisme itu adalah ketika seorang wartawan/jurnalis berusaha untuk menampilkan berita  atau memberikan topik yang berimbang, tetapi jika berita tersebut sudah sampai dipihak redaktur belum tentu berita tersebut yang akan ditampilkan/diterbitkan. Alhasil, para pewarta yang sudah mencoba menegakkan independensi itu akhirnya kalah akibat kekuasan elite dari pemilik modal dari media tempat jurnalis tersebut bekerja. Prihatin.

Keprihatinan yang lain adalah masalah ekonomi, terkati dengan gaji seorang jurnalis. Berkisar antara 1-3 juta, itulah gaji seorang jurnalis di Indonesia. Minimnya gaji tersebut membuat tidak sedikit para teman-teman wartawan untuk mencari pekerja sampingan, ada yang menjadi tukang ojek untuk mengisi kantong dan membiayai hidup keluarganya, ada juga yang berjualan keliling. Dan satu hal yan harus diketahui bahwa wartawan amplop juga menjadi salah satu tumbal akibat minimnya gaji sebagai wartawan/jurnalis.

Tidak sedikit pula, pewarta yang gajinya minim memilih untuk menjadi wartawan amplop. Oleh sebab itu, keobyektifan suatu berita berdasarkan fakta sudah tidak lagi menjadi harga mahal bagi wartawan amplop itu. Harga mahal itu hanya dibayar dengan amplop yang tebal juga. Proyeksi atau cerminan profesi ini masih berkeliaran pada kalangan media-media di Indonesia.

Selain itu masih ada permasalahan lain, adalah membuat berita yang tidak kredibel. Salah satu penyebabnya adalah Deadline. Jika deadline sudah ditentukan dan seorang wartawan/jurnalis tidak dapat mencari berita di lapangan, maka hal-hal seperti memanupulasi data berita pun sudah pasti dilakukan. Subjektivitas dari seorang jurnalis pun dikeluarkan dengan mengabaikan objektivitas dari sebuah berita.

Perosalan-persoalan ini bukan lagi rahasia bagi sesama pekerja media, tetapi sudah menjadi hal yang umum bagi pekerja jurnalis. Lantas, apakah profesi ini masih dapat dipercaya di Indonesia?

Jawabannya, adalah Harus. Harus percaya. Hal ini dikarenakan profesi ini butuh dukungan dari masyarakat secara umum untuk tetap bisa memberikan fakta yang sesuai realita di lapangan. Dukungan dari masyarakat tentu sangat diperlukan untuk tetap meyakinkan para pewarta untuk tetap bersemangat dalam memberikan informasi secara aktual dan terpercaya.

Harapan masih tetap ada. Masih banyak jurnalis-jurnalis yang masih teguh terhadap komitmen dalam meletakan kode jurnalistik di atas puncak aturan profesi tersebut. Seperti ksatria samurai yang rela mati-matian untuk menjaga suatu restorasinya, begitu juga jurnalis yang tetap menegakkan independensi dalam menyajikan berita kepada masyarakat.