Munir dan lainnya…

Ada yang memilih diam ketika ketidakadilan menjadi dominan. Ada yang memilih mencari aman ketika kesewenang-wenangan menjadi sebuah pilihan tanpa solusi. Ada yang memilih lari ketika keberingasan dunia melanda. Ada yang memilih tiarap ketika sepatu lars dan popor senapan berubah menjadi amukan. Ada yang merunduk-tunduk ketika humanisme berujung kenihilan. Ada yang memilih pasrah ketika pilihan hidup hanya sebuah utopia.

Tapi, ia tidak. Ia menolak tunduk dan menjadi penentang semua itu. Berjuang dan menjadi penerang meski ia tahu bahwa jalan yang ditempuh adalah kegelapan yang sunyi. Tapi, ia juga yakin bahwa ujung dari jalan itu adalah sebuah pembebasan atas nama kemanusiaan.

Munir. Ia memilih jalan terjal itu. Dan kegigihannya berakhir dengan sebuah racun. Ia dibunuh 11 tahun lalu (7 September 2004). Bagaimana kita mengenang munir – lebih tepatnya apa yang membuat seorang manusia pantas untuk dikenang? Apakah semua orang manusia laik untuk dikenang, termasuk kaum fasis-diktator?

Dalam hal ini, terdapat demarkasi yang jelas untuk memberi pembeda. Yang satu dikenang sebagai yang jahat. Yang lainnya dikenang sebagai yang baik. Tak pernah ada tolok ukur yang objektif terhadap yang baik dan yang jahat. Tapi, ia memberi kejelasan atas tolok ukur tersebut.

Munir – pemilik nama lengkap Munir Said Thalib – dikenang sebagai yang baik. Ia bersama mereka yang tertindas. Berdiri bersama kaum buruh, aktivis mahasiswa dan pemuda, dan juga rela bersesak-sesakan untuk menyuarakan suara yang tertindas oleh kesewenang-wenangan kelompok elit. Ia adalah orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Yang mengabdikan hidupnya untuk tak henti mencari keadilan dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Ia sadar bahwa kesewenang-wenangan dan kekerasan seharusnya tak mendapat tempat di negeri ini. “Kami sudah lelah dengan kekerasan,” ujarnya. Baginya, kekerasan tak bisa terus menerus diamini dan menjadi beban yang dibiarkan begitu saja. Meminjam kalimat camus, “Aku berontak, maka aku ada.”

Munir sedikit berbeda. Betul ia berontak, tapi tindakannya tidak seutuhnya menunjukkan eksistensi diri murni sebagai manusia. Ia adalah wujud lain dari sekedar eksistensi. Mungkin, Munir adalah bentuk lain dari tekad dan terang yang mewujud dalam penaklukkan ruang-ruang ketidakadilan dan penebas kuasa yang beringas.

Di negeri ini, kuasa belangsung tanpa keyakinan. Kekuasaan selalu memberi nilai jual yang membawa hasrat untuk segera diambil. Oleh sebab itu, perebutan kekuasaan adalah pertaruhan harga diri yang tak pernah usai. Dan juga, perebutan kekuasan dilaksanakan oleh kuasa jabatan yang digunakan sebagai legitimasi dan penghalalan segala cara untuk memperolehnya. Kekuasaan yang menindas dengan mengatur segala hal atas nama masyarakat.

Munir tidak ingin hal-hal ini terus dijadikan sebagai patron bagi bangsa ini. “…Apa kita biarkan mereka untuk gagah? Mereka gagal untuk gagah..” ujarnya. Ia selalu vokal kepada mereka yang berkuasa tanpa nurani. Kuasa seperti ini sering bersifat semu dan tak pernah benar-benar mewujud sebagai kuasa dalam  arti untuk kepentingan khalayak ramai, khususnya rakyat kecil.

Munir sadar betul bahwa jalan yang dipilhnya memiliki resiko pertaruhan nyawa. Ia menuntut pengungkapan kasus peristiwa Talangsari, pembantaian Timor-Timur, penculikan aktivis ‘98, peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi, penuntasan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, kasus konflik Maluku, kasus kekerasan di Aceh, dan juga peristiwa Tanjung Priok. Ia sadar betul bahwa kasus-kasus yang diadvokasinya berhubungan dengan orang-orang penting – mereka yang memiliki kuasa dan  jabatan tinggi.

Tiga tahun sebelum ia meninggal, tepatnya 21 Agustus 2001, ia menerima ancaman bom di rumahnya di Malang. Bom tersebut kemudian diledakkan di lapangan sekitar rumah Munir. Tak hanya itu,  29 Agustus 2003, ledakkan bom (low explosive) terjadi di rumah Munir di Bekasi. Dan masih banyak ancaman-ancaman lainnya.

Tapi, semua itu tak pernah ia jadikan sebagai penanda bendera putih. Ia tetap melangkah mantap di kesunyian jalan dalam memperjuangan HAM. Dalam kegigihan munir, kita akan menemukan pembenaran atas kalimat William Penn – pendiri dari negara bagian Pennsylvania – yang berujar, “Right is right, even if everyone is against it, and wrong is wrong, even if everyone is for it.”

Kebenaran adalah kebenaran. Dan munir adalah kebenaran itu sendiri. Kita harus merebut kembali kebenaran demi memperoleh pembebasan hakiki; keadilan.

Berjuang untuk keadilan tak segampang pengujarannya. Tak mudah pada nyatanya. Bagi sebagian orang, keadilan adalah kata-kata abstrak yang tak akan pernah tercapai. Lebih mudah memperbincangkan ketidakadilan daripada keadilan itu sendiri. Ketidakadilan berseliweran dalam setiap hari dalam kehidupan kita. Sedangkan, keadilan merupakan hal yang jarang kita jumpai. Mungkin, kita merindukan keadilan. Munir juga merindukannya.

Sebelas tahun kematian Munir dan tahun-tahun berikutnya adalah penanda bagi kita untuk tak henti bertarung mencari kerinduan itu. Penanda bagi kita bahwa keadilan masih saja sering berjalan bersama dengan ketidakadilan. Penanda bahwa negara masih berhutang banyak atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang tak pernah diselesaikan dengan itikad mulia, baik pengungkapannya maupun hukuman bagi pelakunya. Seperti kata pengarang ternama, Suzanne Collins, “ we fight, we dare, we end our hunger for justice.” Kita menuntut komitmen pemerintah secara tegas untuk menuntaskan kasus pembunuhannya.

Setiap zaman melahirkan penanda dan penjejaknya. Kita tak pernah tahu apakah ia dapat hadir secara total atau tidak. Yang jelas, kita bisa melihatnya sendiri. Tindakan, laku, dan sikap mewakili semua pengejawantahan yang dibutuhkan setiap zamannya. Dan, Munirlah yang mewakilinya. Begitu juga dengan munir-munir yang lahir setelahnya. Seperti katamu Cak,“Kami tetap ada dan berlipat ganda.”

Mungkin lirik lagu ‘Pulanglah’ yang diciptakan Iwan Fals untuk Munir akan menjadi penanda bahwa ia tetap ada.

Satu hilang seribu terbilang

Patah tumbuh hilang berganti

Terimalah sekedar kembang

Dan doa doa

 

Kami bersamamu kawan…

Tinggalkan komentar